Jumat, 28 Desember 2012

Memutus Mata Rantai..

Selalu terkesan pada tokoh-tokoh yang secara tegas mengungkapkan prinsip hidupnya yang menghadirkan inspirasi bagi oranglain. Dan tulisan kali ini terinspirasi oleh salah satu prinsip hidup Pak Bondan, sang master pencetus ide wisata kuliner dengan slogan Mak Nyuuuus. Pada satu wawancara di televisi lokal beliau menegaskan akan memutus mata rantai keharusan "berbakti" pada orangtua. Adalah lazim pada masyarakat kita mengartikan wujud "berbakti" pada orangtua biasanya dengan cara menyekolahkan adik-adiknya hingga bisa menjadi "orang", mengirimkan uang secara reguler pada orangtua, mengirim orang tua menunaikan ibadah haji dll. Bagi beliau, adalah baik anak menunjukkan baktinya pada orangtua, namun kewajiban yang berkonsekuensi finansial tersebut harus berakhir pada dirinya saja. Anak-anaknya tidak punya keharusan untuk "berbakti" dengan cara yang sama kepadanya dan istrinya.

Ide memutus rantai itu sangat hebat menurut Mrs Karmi. Bukan pada poin kita tidak wajib "berbakti" pada orangtua, tapi lebih kepada kita sebagai orangtua harus mampu mencukupkan diri sendiri sehingga kita tidak perlu membebani siapapun ke depannya. Dan untuk bisa mencapai level yang mampu dengan berani memutus rantai tersebut, tentu kita sebagai orangtua harus bekerja extra keras agar mampu menghasilkan lebih banyak dana yang tersisa setelah penggunaan sehari-hari. Kita harus mampu sejahtera sehingga instead of meminta, kita memiliki kemampuan untuk memberi.

Alangkah indahnya, jika kita mempunyai dana yang mencukupi untuk pendidikan anak-anak kita, semua anak kita sehingga si sulung tidak punya kewajiban menyekolahkan adik-adiknya yang lahir dibawahnya kelak. Apabila si sulung sudah bisa berpenghasilan sendiri maka penghasilan tersebut adalah mutlak untuknya untuk mengembangkan dirinya sendiri pun untuk keluarganya yang akan dibentuknya kelak.Karena tanggung jawab anak sebenarnya adalah mencukupi kehidupan keluarganya sendiri, bukan keluarga yang dibentuk orangtuanya.

Alangkah baiknya kita bisa naik haji dengan dana sendiri, tidak perlu meminta pada anak-anak kita. Karena sejatinya anak-anak kita berkewajiban memikirkan kewajiban haji untuk dirinya sendiri dan keluarga yang nanti dibentuknya. Syukur-syukur kita bisa mengajak anak-anak kita berhaji sebelum mereka membentuk keluarganya sendiri. Kita juga tetap mampu menjalankan fungsi sosial kita kepada masyarakat dengan kekuatan kita sendiri. Sehingga, arti pertambahan usia akan semakin bermakna.

Alangkah tenangnya apabila kita terbaring sakit, tidak perlu membebani anak-anak dengan tagihan biaya pengobatan. Cukup anak-anak menunggui kita dan mengirimkan doa-doa tulus untuk kesembuhan kita. Kalaupun ada gurat kesedihan di wajah mereka tentunya itu murni karena mereka berduka melihat orangtua tercinta berbaring sakit. Bukan sama sekali karena kehabisan akal memikirkan angka nominal tagihan yang terus bertambah, tanpa tahu darimana sumber melunasinya.

Alangkah bahagianya, kita di suatu masa kelak, tetap bisa menjadi lender of the last resort bagi anak-anak kita, keluarga besar kita. Kita selalu dengan mudah mengiyakan segala permintaan bantuan yang datang karena memang kita memiliki kemampuan untuk itu. Sumbangan masjid oke, sumbangan panti asuhan oke, pengajuan pinjaman dari saudara di saat darurat selalu siap sedia. Betapa berkahnya..

Apakah "berbakti" pada orangtua salah? 

Tentu tidak. Sebagai anak kita harus siap sedia membantu orangtua, dalam bentuk apapun, at all cost. Bahkan dengan bantuan kita sebesar apapun rasanya tidak akan mampu membalas segala budi baik dan pengorbanan orangtua untuk kita. Seujung kukupun tidak. Baik orangtua kita dalam kondisi yang beruntung maupun kurang beruntung kewajiban anak adalah "berbakti" pada orangtua nya. Alangkah malunya seorang anak, apabila orangtua meminta bantuan dan kita sebagai anak tidak bisa memberikan bantuan. Memberikan hadiah terbaik, membahagiakan orangtua adalah salah satu hal terbaik yang bisa diberikan anak pada orangtuanya.

Tapi pada saat menjadi orangtua kelak, alangkah lebih baiknya jika kita memiliki pemikiran sebaliknya. Alangkah malunya jika kita meminta bantuan pada anak-anak kita. Karena kewajiban mereka sesungguhnya adalah untuk kehidupan mereka kelak. Dengan biaya hidup yang semakin meningkat, tentu beban hidup mereka akan berlipat ganda dibandingkan yang kita nikmati sekarang. Tentu kita akan bahagia apabila suatu saat anak-anak kita menghadiahi kita hal-hal yang membahagiakan sebagai wujud bakti mereka. Tapi itu hak mereka, bukan kewajiban.


Jadi..Siapkah memutus mata rantai itu??


Tidak ada komentar:

Posting Komentar