Selasa, 26 November 2013

Njun Njan Grand Indonesia..

Pusaran kegiatan makan siang Mrs Karmi berada di kawasan bundaran HI dan sekitarnya. Siang itu, kami satu divisi ditraktir pimpinan makan siang di Njun Njan di Grand Indonesia.

Restoran seafood ala chinesse ini didominasi warna merah pada interior, sepeti kursi bercorak mawar merah maupun lampion lampu. Suasana restoran cukup lega, dan memang sangat ramai di saat lunch.

Masalah rasa, Njun Njan ini sebenarnya tidak luar biasa banget. Sebatas enak lah. Kalau tidak ditraktir sih Mrs Karmi nggak akan mau makan disini hihihi..Apalagi, saat kami makan tempo hari, banyak sekali stok yang kosong, dan itu menu-menu yang favorit seperti udang, cumi, kepiting. Kok bisa ya manajemen logistiknya begitu..

Hidangan pembuka, shrimp roll. Kulitnya crispy, dengan isi yang manis gurih. Juara deh..

Karena keterbatasan pasokan, jadi pilihan menu beratnya terkesan apa adanya. Berikut main menu nya. Gurame Saos Padang

Ini apa ya, lupa namanya, tapi enak. Kailan dengan tahu, telur. Kuahnya seperti ada rasa telor asinnya.
Sapi Lada Hitam. Agak mengecewakan dari segi tampilan dan rasa lada yang berlebihan.

Selanjutnya, Tahu dengan 3 Saus. Nyam Nyam..


Minumannya selain yang standar, ada juga jus kombinasi, buah dan sayuran. Seperti dibawah ini. Cantik yaa..Rasanya juga segar dan enak..Slruuuuup





The last, dessert. Es krimnya juara. Green Tea dan Kacang Merah. Lembut dan manisnya pas. Es krimnya membuat keseluruhan menu yang biasa, ditutup dengan istimewa. Terimakasih Pak boss traktirannya..Sering-sering yaa..


Lelaki Keempat..

Pengumuman Lomba Cerpen Femina sudah keluar. Belum beruntung tahun ini. Tidak Mengapa..
Karena sudah pengumuman, jadi sah di-share disini..Selamat menikmati..If any comments, please be free to write at the comment box below..

 
Lelaki Keempat

Langit kota Coventry, kota kecil di west midland Inggris cloudy.Summer belum sepenuhnya datang. Awan kelabu entah mengapa masih merajai keseluruhan alam. Jalanan kampus University of Warwick, tempat aku melanjutkan kuliah master, lumayan sepi ditinggal sebagian besar mahasiswanya berkutat di perpustakaan mempersiapkan musim ujian yang segera datang. Sementara aku lebih memilih disini, duduk di sudut student café, di depan kaca besar yang membuat pandangan leluasa mengagumi art centre yang megah.
Sebuah email terbuka di layar smartphone putihku. Email itu tiba dua hari lalu. Dari orang yang sama yang setiap hari setia mengirimkan email sejak hari pertama aku menjejakkan kaki di universitas ini, satu setengah tahun lalu.
“Selamat pagi, Arini. Bagaimana kabarmu? Apakah summer sudah datang? Jakarta masih luar biasa panas dan tentu masih macet seperti biasa. Mungkin memang seharusnya aku pergi saja dari kota ini. Ada ide aku harus pergi kemana? Oh ya, kemarin aku sempatkan mengunjungi rumahmu, bertemu Ibu. Aku memohon restunya. Aku akan datang menyusulmu. Sudah terlalu lama aku menanti kabar darimu. Hampir satu setengah tahun sejak kamu pergi tanpa memberitahuku. Pesawatku akan tiba hari Minggu siang. Tidak peduli kamu akan datang menjemputku atau tidak, aku akan menantimu di airport. Terlalu banyak yang harus kita selesaikan. Bicara adalah cara orang dewasa menyelesaikan masalah, bukan dengan lari seperti cara yang kau pilih”
Dia pasti sudah menunggu dua jam di airport saat ini. Aku tidak tahu apa sebaiknya pergi atau tetep disini. Kuteguk cappucinno yang mulai dingin. Bahkan setelah cangkir kedua pun aku belum mampu memutuskan harus bagaimana.
Lelaki Pertama
Bagi wanita manapun, Bapak adalah lelaki pertama yang dikenalnya. Dari Bapak, seharusnya wanita belajar tentang kasih sayang yang dibalut kerasnya tanggung jawab hidup dan kepatuhan pada norma. Tapi sayang aku tidak mendapatkannya dari Bapak.Urusan bisnis terlalu menyita waktu Bapak bahkan saat dia bersama kamipun rasanya pikirannya masih habis untuk seluruh lalu lintas bisnis perdagangannya. Sebelumnya, aku bisa memahami sepenuhnya bahwa begitulah konsekuensi atas tanggung jawab yang besar terhadap istri dan kedua putrinya. Sampai kabar perselingkuhan yang kemudian tercium oleh Ibuku. Dengan terbata-bata di antara isak tangis ibu memberi tahu aku dan mbak Anti. Bapak menikah siri dengan sekretarisnya yang sudah hamil empat bulan.
Sejak itu, aku membencinya. Lelaki yang sebagian gennya ada pada darahku. "Bukan aku yang tidak mau menjadi anak, tapi Bapak yang sudah memilih berhenti menjadi seorang Bapak bagiku!" ucapku dingin pada Bapak saat terakhir bertemu sebelum dia meninggalkan rumah pascaperceraian Bapak dan Ibu.
Lelaki Kedua
Aku bersyukur aktivitas organisasi mahasiswa mempertemukan aku dengan Faisal. Kelaziman hubungan cinta ketua dan sekretaris akhirnya terjadi juga pada kami. Witing tresno jalaran soko kulino. Seringnya bersama menghadiri rapat baik di fakultas maupun universitas menumbuhkan benih-benih cinta di antara kami. Bukan hanya ketampanan paras perpaduan Padang-Arab yang menawan hatiku. Aku kemudian  menemukan banyak sifat lelaki yang aku harapkan darinya, sifat yang sangat berbeda dengan Bapak. Dia cerdas dan tegas, namun sekaligus penyabar. Dan seperti orang Padang pada umumnya, dia religius dan setia.Dia juga pandai merebut hati Ibu.
Tepat di hari ulang tahunku yang ke-25, Faisal melamarku. Dia tidak berlutut bak pangeran, tidak pula menyiapkan pesta kejutan penuh bunga dan lilin. Di teras rumah saat dia mengantarku pulang setelah acara dinner dengan beberapa teman, Faisal mengeluarkan kotak beludru merah berisi cincin berlian bermata dua.“Aku memberimu cincin ini karena aku adalah lelaki kedua bagimu, setelah Bapakmu. Aku tidak bisa menjanjikan apapun padamu kecuali bahwa aku akan menjadi lelaki terbaik untukmu dan anak kita kelak. Menikahlah denganku, Arini.”
Lelaki Ketiga
Setiap hari sejak perkawinan kami adalah surga bagiku. Aku dan Faisal ibarat puzzle yang saling melengkapi. Kami memiliki mimpi yang tinggi, dan berusaha bersama untuk mewujudkannya. Kami sama-sama muda dan meniti karir yang menjanjikan. Aku menjadi economist di salah satu bank BUMN, sementara Faisal menjadi manajer di salah satu leading consumer goods company. Kebahagian kami lengkap ketika tujuh bulan setelah menikah,aku dinyatakan positif hamil.
Seiring usia kandungan yang terus bertambah, Faisal semakin disibukkan dengan perjalanan dinasnya, berkeliling meninjau pabrik dan distribusi milik perusahaan tempatnya bekerja yang tersebar di seluruh Indonesia. Tak jarang juga  dia harus mewakili perusahaan menghadiri meeting di luar negeri.
Faisal ragu-ragu menjelang perjalanan dinasnya ke Thailand yang berdekatan dengan hari perkiraan kelahiran putra pertama kami.“Maafkan aku, Rin. Ini mendadak sekali. Pak Pieter tiba-tiba sakit, jadi tidak ada orang lain yang bisa menggantikannya ke Thailand. Aku cuma tiga hari di sana. Selesai semua acara regional meeting aku akan secepatnya kembali.” Faisal memegang tanganku yang sibuk memasukkan baju ke koper. Matanya merasa bersalah. Aku tersenyum. “Kamu sudah menjelaskan ratusan kali sejak siang kemarin, I totally can understand your reason. Come on dear! Aku bukan ABG labil yang harus nangis-nangis ditinggal kekasihnya pergi.
Faisal tertawa mendengar jawabanku.“Terimakasih, sayang. Kamu memang istri terbaik. Ingat pesanku ya. Kalau ada tanda-tanda melahirkan apapun, kamu harus segara pergi ke rumah sakit”.
“Siap, bos.” kataku sambil memperagakan gaya menghormat ala tentara. Faisal tersenyum meraihku ke dalam pelukannya.“Aduh hati hati dong, sayang. Baby nya sakit nih ditimpa perutmu”. Aku merajuk manja.“Ups, maaf tidak sengaja”.Faisal merenggangkan pelukannya. Sambil mengusap perutku, dia berbisik “Jagoan papa, lahirnya nunggu Papa pulang ya. Kamu harus kuat. Temenin Mama ya selama Papa nggak ada”. Faisal mencium keningku lembut sebelum pergi.Tidak lupa dia pamit pada Ibu yang sudah sebulan ini ikut tinggal di rumah kami menjelang persalinanku.
Pagi terakhir sebelum jadwal kepulangan Faisal, tiba-tiba perutku merasa mulas. Dibantu ibu dan Mas Mono, sopir Faisal, aku dibawa ke rumahsakit. Hasil pemeriksaan masih menunjukkan pembukaan awal, sehingga aku disarankan kembali dulu ke rumah. Menjelang malam, rasa mulas semakin meningkat dengan intensitas yang lebih sering.Ternyata pembukaan belum bertambah juga. Namun, suster yang memeriksaku tiba-tiba bergelagat aneh. Setelah berbisik dengan rekan sejawatnya.Mereka berdua kemudian keluar ruangan.Tidak berapa lama mereka kembali membawa tabung oksigen dan selang-selangnya.Dengan hati-hati suster yang lebih senior berkata “Ibu Arini, entah mengapa kami tidak berhasil menemukan detak jantung bayi ibu. Kami sudah mencoba beberapa kali. Dokter sedang menuju ke rumah sakit dan akan tiba dalam 15 menit. Sementara itu, ibu akan diberi oksigen agar peredaran darah ke bayi lebih baik. Ibu diharap tenang ya”
Aku tidak bisa mencerna dengan baik apa yang diucapkan suster tadi. Dengan bingung aku memandang Ibu. Ibu menggenggam tanganku memberi kekuatan.Aku mulai menangis dan panik.“Kenapa bisa begitu, suster? Anak saya baik-baik saja kan?Aku mohon katakan kalau semuanya bohong! Mana dokter?Aku mau dokter sekarang!” Ibu memelukku “Sabar, Rin. Jangan teriak. Lebih baik tenang dan berdoa saja yang terbaik. Kamu terus komunikasi dengan anakmu saja. Ibu yakin dia masih hidup”. Aku terisak di pelukan Ibu. Doa terus kupanjatkan di sela rasa sakit yang intensitasnya meningkat. Masa menanti dokter datang serasa seabad lamanya.
Lintasan peristiwa yang terjadi kemudian terasa sangat cepat. Dokter datang, memeriksa ini dan itu. Memutuskan operasi caesar mendadak. Aku  hanya mengingat lampu operasi yang silau sebelum kemudian tertidur karena bius dan kelelahan menahan sakit selama hampir 20 jam.
Ketika membuka mata, bayang-bayang Ibu terlihat samar di depanku. “Anakku sudah lahir, Bu?Mana dia? Apakah dia baik-baik saja?”.Ibu tidak menjawab, hanya menatapku, airmatanya menggenang.“Yang sabar ya nak. Allah lebih sayang anakmu”. Aku menangis histeris.Tidak percaya pada kenyataan pahit pada bayiku. Tidak ada yang salah selama kehamilanku. Bahkan pagi kemarin semuanya masih baik-baik saja.
Bayi laki-lakiku membiru dibalut selimut putih bersih. Aku tergugu menerimanya dari Ibu. Memeluknya tubuhnya yang dingin. Airmata memenuhi mataku. Dunia tiba-tiba gelap.
Ketika membuka mata, aku menemukan diriku sudah berada di kamar rawat inap. Ada Ibu, Mbak Anti, dan Mas Bagas suaminya. “Mana anakku?” tanyaku. Ibu memegang tanganku. “Anakmu sudah dimandikan, Sebaiknya siang ini kita makamkan. Tidak baik menunda pemakaman sampai berganti hari.” Aku kembali terguncang. “Aku ingin menunggu Faisal sebelum memakamkan anakku, Bisakan?” Ketiga orang di depanku berpandangan. Mbak Anti mendesah. “Sepertinya kita tidak bisa menunggu Faisal.” Aku memandang heran pada kakak wanitaku “Kenapa mbak?” Ibu memelukku dari sisi kanan tempat tidur. Mengelus rambutku dengan kasih sayang sebelum bersuara. Lirih. “Yang sabar ya nak, Tadi orang KBRI Bangkok menelpon. Dalam perjalanan ke airport di Bangkok, Faisal terjebak di tengah demontrasi besar menentang perdana menteri. Demo kemudian menjadi anarkis. Faisal menjadi korban salah tembak. Meskipun pertolongan cepat datang, tapi nyawanya tidak tertolong. Faisal meninggal sesampainya di rumah sakit
**
"Kamu kurusan, Rin."
Aku terkejut. Suara itu. Suara yang membuatku lari dari Jakarta. Kini suaranya begitu nyata di tengah riuh suara manusia di Birmingham airport, airport terdekat dari kampusku. Ternyata justru dia menemukanku setelah aku celingukan mencarinya.
"Kalau kamu memang kesini untuk melihatku, mengapa kau masih berdiri di situ?" Aku bergeming, ragu. Kudengar langkah kaki mendekat. Aku semakin lemas, bingung. Ingin lari menjauh, tapi kakiku beku. Langkah kaki itu berhenti tepat di belakangku. "Jangan lari lagi. Kumohon. Seberapapun kamu membenciku, atau tidak menginginkanku. Sudah cukup pelarianmu. Aku rindu."
Kami duduk di bangku taman menghadap danau alami berair tenang. Sepasang angsa berenang di tengah danau menuju ujung selatan yang berbatasan dengan dormitory. Mendung mulai hilang berganti langit berwarna biru pucat. Awan kelabu tipis masih menggantung di ujung langit
"Pantas kamu betah melarikan diri kesini. Alam yang indah. Udara bersih. Kampus yang hijau." cerocos lelaki di sampingku. Aku memandangnya dengan ekor mata. Rahang yang kokoh dengan rambut-rambut halus yang tumbuh berantakan. Dia masih saja tampan. Lelaki itu menoleh tepat saat aku menatapnya. Segera aku membuang muka. Malu ketahuan mengagumi wajahnya. "Kamu kok diam dari tadi. Apa kamu tidak ingin berkata sesuatu. Ratusan emailku tidak kamu balas. Dan sekarang aku datang  berjuta kilo kesini. Masih diam juga yang kudapat?"
Aku tersenyum mendengar komplainnya. Dia masih sama seperti yang dulu. Jenaka, cair. "Aku terkejut kamu benar-benar datang" akhirnya aku membuka suara.
"Dan?" kejarnya, berharap. "Dan apa?" tanyaku bingung. "Apa jawabanmu untuk lamaranku?sudah cukup aku memberimu waktu untuk kamu berpikir kan?". Aku terkejut mendengar pertanyaannya yang spontan. Aku semakin menenggelamkan mukaku. Menghindari tatapannya yang lekat ke wajahku.
"Pandanglah aku, Rin!" Dia memutar bahuku. Membuat wajahku tepat menatap wajahnya. Matanya begitu kelam, penuh sakit dan rindu. "Apa salah kalau aku, Rangga, sahabat suamimu almarhum, mencintaimu? Bukan karena kasihan padamu seperti yang kamu sangkakan selama ini. Aku sudah memendam cinta ini sejak kita kuliah dulu. Tapi aku mengalah pada Faisal. Berbahagia untuk kalian. Sekarang saatnya kamu bahagia juga. Kamu berhak untuk itu." Rangga menghela nafasnya. "Kalau bukan karena cinta dan harapan atas balasan darimu, kamu pikir dengan apa aku bertahan selama ini. Kamu pergi, tanpa pamit. Seluruh dunia bahkan ibumu juga bungkam." Rangga menggenggam tanganku.
"Aku mencintaimu Arini Dian Perwitasari dan di bawah langit kota ini aku memintamu melupakan semua kepedihan masa lalumu, membuka lembaran baru bersamaku, Aku melamarmu menjadi istriku." Rangga mengeluarkan kotak dari saku jaketnya. Membukanya. Cincin berlian bermata empat. "Tidak peduli bagaimana sedihmu karena tiga lelakimu sebelumnya, aku, lelaki keempatmu ingin bahagia bersamamu selamanya"
Kebekuan hatiku mencair bersama bulir airmata yang jatuh. Tanpa kata-kata, aku mulai merangkai impian bersamanya saat tangis bahagiaku pecah dalam pelukannya.

Kembar..

Berikut adalah tulisan yang  dikirim Mrs Karmi ke Femina, yang sampai detik ini belom beruntung dimuat..Hihihi..Tetap semangat menulis yang lainnya dong, minimal dimuat di blog sendiri..Selamat menikmati..


Kembar

Mr Karmi & Mr Kirmi..The Twin
  
Anak kembar memang unik. Dimanapun tempatnya, keberadaan mereka pasti langsung mencuri perhatian. Kalau yang kembar masih anak-anak, biasanya kompak pakai baju kembaran, imut dan menggemaskan. Kalau sudah besar pun masih terkadang masih jadi “tontonan” orang. Minimal akan ada yang bisik-bisik  berkomentar “Eh liat deh, mereka kembar lho!”

Lingkungan kehidupanku cukup dekat dengan anak  kembar.  Pertama, ibuku adalah anak kembar, laki-laki dan perempuan. Pada masa kelahiran mereka di awal tahun 50-an, kehadiran anak kembar masih sangat jarang dan langka. Apalagi kembarnya beda jenis kelamin. Tidak terlalu banyak cerita yang aku dapatkan dari ibu tentang saudara kembarnya.  Itu karena  menurut keyakinan  Mbah Kakung waktu itu anak kembar beda jenis kelamin harus dipisahkan ketika beranjak remaja, karena takut akan tumbuh benih asmara di antara keduanya. Kalau versi Mbah putri, faktor kerepotan mengurus anak kembar, plus anak-anak yang sudah lahir sebelumnya –total anak 12 orang-, memaksa Mbah putri merelakan anaknya ikut saudara jauh merantau ke Kalimantan. Kontak terakhir Ibu dengan  Pakdhe Warto, saudara kembarnya, terjadi pada tahun 1978. Surat yang Ibu kirim ke Kalimantan balik kembali dengan alasan penerima sudah pindah alamat. Sejak itulah, Pakdhe Warto seperti hilang ditelan bumi. Kabar burung menyebutkan Pakdhe Warto sudah menikah dengan gadis dayak, dan hidup berkeluarga di sana. 

Kedua, suamiku kembar. Sejak kuliah, dua laki-laki ini sudah menarik perhatian. Selain memang dianugrahi tambang dan badan yang gagah dan putih bersih, kedua anak ini cukup aktif di kegiatan kemahasiswaan. Nilai lebihnya  anak kembar adalah teman yang lebih banyak, karena prinsipnya “teman kembaran adalah temanku juga”.  Jadi, meskipun suamiku, dan kembarannya  mengambil kuliah di Fakultas yang berbeda, namun serasa mereka mempunyai teman di dua fakultas tersebut. Apalagi, sangat sering teman-teman mereka kecele mengenali keduanya karena sangat mirip. Tidak jarang meraka sibuk disapa sana sini oleh orang yang tidak dikenal, yang pasti karena salah mengenali keduanya haha.
Tapi bila ditanya, aku sebagai kekasihnya waktu dulu, pernahkah tertukar mengenali mereka? Jawabannya tentu tidak. Meskipun kembar, sebenarnya pembawaan dan kepribadian mereka sangat berbeda. Suami lebih tenang, kalem, dan tidak banyak omong sementara kembarannya lebih terbuka, populer, dan lebih ekspresif. Perbedaan kepribadian itu kemudian tercermin dari pilihan gaya berpakaian, aksesoris, maupun gaya rambut.

Aku dan suami menikah lebih dulu di tahun 2008. Sedangkan kembaran suami mengabari rencana pernikahannya di akhir tahun 2009. Kami belum mengenal calon istrinya sebelumnya, karena proses persiapan menuju pernikahan  yang terbilang singkat. Mereka adalah teman kerja di perusahaan pengolahan kertas di pedalaman Propinsi Riau sehingga agak sulit menyusun jadwal bertemu. Pada suatu siang, kembaran suami meminta tolong mengurus transaksi keuangan untuk calon istrinya. Kebetulan calon istrinya membuka rekening di bank tempatku bekerja. Kejutan datang begitu aku membuka data pribadi calon istrinya itu. Ternyata hari lahir calon istrinya sama persis dengan hari lahirku. Oalah, begini rupanya anak kembar. Bahkan urusan jodohpun sehati mencari istri yang “kembar” meskipun beda bapak dan beda ibu hehe.   Suami-suami dan istri-istri masing-masing lahir di tanggal dan tahun yang sama. How lucky!

Merasa memiliki darah kembar, aku dan suami pernah berharap bisa memiliki anak kembar juga. Sepertinya lucu. Namun, setelah kami memiliki Nasywa putri kecil kami, kami menjadi menyadari betapa repotnya mengurus walaupun hanya satu anak. Belum lagi urusan mencari pengasuh anak yang baik dan sesuai standar. Serasa mencari jarum di tumpukan jerami. Apalagi memikirkan biaya pendidikannya kelak, tiap masuk sekolah harus membayar semua biaya dikali dua. Tentu butuh persiapan ekstra.  Kami juga menjadi semakin realistis setelah kehamilan anak kedua dan ketigaku juga kurang lancar, sehingga harus gugur sebelum waktunya karena faktor penyakit yang aku derita.

Walhasil, kami sekarang menikmati hari-hari  mencurahkan seluruh perhatian untuk Nasywa yang kini sudah menginjak usia empat tahun. Meskipun harapan memiliki anak kembar sudah luntur seiring waktu dan pandangan hidup realistis, namun urusan kembar ini masih saja setia mengikuti kami. Sore itu, sepulang dari bepergian di akhir pekan, Nasywa asyik berceloteh mengomentari mobil-mobil di sebelah kanan kiri mobil MPV warna biru kami. Tiba-tiba dia menyeletuk dengan keras. “ Ma, liat mobil itu dan mobil kita, kembarrr”. Kami semua terkejut dan luar biasa bahagia, karena Nasywa berhasil mengucapkan kata kembar, dengan huruf “r” yang jelas, tanpa cadel.  Sejak saat itu, Nasywa lancar bisa mengucapkan huruf r dengan jelas, untuk kata apapun selain kata kembar.
Berkah kembar memang selalu mengikuti keluarga kami..

Minggu, 24 November 2013

Maxidress, Eskalator, dan Mama Paling Bahagia..

Apa hubungan maxidress dan eskalator? Nggak ada sih..
Lalu Mama Paling Bahagia? Apalagi..
Cuma bagi Mrs Karmi, kejadian hari minggu kemarin membuktikan adanya hubungan antara ketiganya.

Adalah jalan-jalan ke salah satu mall di kawasan Bogor, bersama keluarga adik ipar dari Berau. Entah karena ribet harus menggandeng dua anak -Nasywa dan Rhizan, sepupunya- atau maxidress kesayangan yang sedikit lebih lebar, atau eskalator yang sedang bermasalah, di step terakhir dari eskalator turun, ujung maxidress nyangkut dengan suksesnya ke eskalator. Panik dong pasti..Secara putaran eskalator bergerak terus membuat si maxidress makin terbelit. Orang dibelakang juga heboh menubruk-nubruk karena tidak menyangka di depannya ada yang nyangkut begitu. Untung suami sigap menarik-narik rok dengan susah payah dan berhasil. Fiuuhh.

Jangan ditanya seperti apa rupanya sang maxidress itu..Malu aja bawaannya..Ujung bawahnya robek-robek, dan ada banyak bekas-bekas hitam oli. Untung Mrs Karmi muka badak, masih kuat diliatin orang satu mall hihhii, walaupun agenda window shopping harus berakhir dengan cepat. Setelah sholat Ashar langsung pulang saja. Tawaran Mr Karmi untuk beli baju ganti juga ditolak, karena males aja beli baju dalam kondisi kepepet begitu.

Namun dibalik musibah selalu ada hikmah. Kejadian itu juga menyadarkan betapa Nasywa sangat sayang sama Mamanya. Sepanjang jalan si kecil selalu menghibur. "Nanti di rumah bisa dijahit kok, Ma". "Itu kan cuma robek sedikit mah, nanti digunting dan dijahit aja di rumah". "Yang kotor bisa dicuci nanti sama Mbak". Mengharukan :)

Yang paling mengharukan adalah selepas sholat, mau kembali ke parkir, kami harus naik lagi eskalator ke atas. Nasywa yang sedang jalan dibelakang  spontan lari mendahului Mamanya, diangkatnya ujung maxidress mamanya setinggi mungkin sambil naik eskalator. "Aku pegangin, Ma. Biar nggak masuk lagi" Pegangannya begitu kuat dan tinggi sampai selepas eskalatorpun masih terus dipegangin.
Ketika menurunkan pegangannya, Nasywa berkata "Ma, jangan turun lagi ya, aku nggak mau mama nyangkut lagi di eskalator"

Sambil mengusap mata yang menggenang karena terharu, Mrs Karmi mengucapkan terimakasih pada Nasywa. Boleh jadi sore itu penampilan Mrs Karmi yang paling nggak banget di mall itu, tapi Mrs Karmi merasa menjadi Mama yang paling bahagia sedunia..

Terimakasih, Nasywa..
Sudah menjadi anak yang begitu sayang pada Mama
Anak sholihah, penuh kasih sayang dan baik hati..


Minggu, 27 Oktober 2013

Saat Manusia Merajai Jalanan Ibukota..

Judul yang provokatif bukan? Hehe..Tapi memang demikian ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan minggu pagi di Jalanan protokol Sudirman-Thamrin saat pemberlakuan car free day setiap minggu pagi. Jalanan yang biasanya menjadi habitat mobil-mobil yang mengular dalam kemacetan, berganti menjadi lautan manusia dengan berbagai aktivitasnya. Menyenangkan.

Kami memarkir kendaraan di kantor Mr Karmi yang hanya sejengkal langkah dari bundaran HI. Sudah agak siang juga kami tiba, sekitar pukul tujuh. Bundaran HI sudah dipenuhi manusia. Sayang air mancurnya sedang dalam perbaikan sehingga tidak cukup bagus menjadi background foto. Si kecil Nasywa asyik mengayuh sepeda roda tiganya, menemani nenek kakeknya berjalan pagi. Mr Karmi memilih lari pagi terpisah dari rombongan kami.



Rute berakhir di Monas, dimana lebih banyak lagi manusia yang tumpah ruah. Yang berolahraga, yang hanya mau jalan-jalan, ataupun yang mau nyari sarapan bisa diakomodir semuanya. Bahkan ada yang bermain layang-layang. Sungguh terlihat betapa masywarakat membutuhkan ruang publik yang lebih luas, untuk sekedar menikmati mewahnya waktu luang, minimal di akhir pekan.




Belum cukup berkeringat, kami lanjut main bulutangkis di pinggiran monas.Tidak lupa mengabadikan senangnya Nasywa bisa berpose dengan berbagai pose, salah satunya berlatar kantor Mrs Karmi. Tetap gaya, meskipun belum mandi hehe..





Matahari tak jua memunculkan sinarnya meski pagi sudah sampai jam 10. Saatnya The Karmi's pulang, perut kenyang setelah sarapan lesehan di bawah puluhan layang-layang. Asyik!