Karena sudah pengumuman, jadi sah di-share disini..Selamat menikmati..If any comments, please be free to write at the comment box below..
Lelaki
Keempat
Langit kota Coventry, kota kecil di west
midland Inggris cloudy.Summer belum sepenuhnya datang.
Awan kelabu entah mengapa masih merajai
keseluruhan alam.
Jalanan kampus University of Warwick,
tempat aku melanjutkan kuliah master, lumayan sepi ditinggal
sebagian besar mahasiswanya berkutat
di perpustakaan mempersiapkan musim ujian yang segera datang. Sementara aku
lebih memilih disini, duduk di sudut student café, di depan kaca besar yang
membuat pandangan leluasa mengagumi art
centre yang megah.
Sebuah email terbuka di layar smartphone
putihku. Email itu tiba dua hari lalu. Dari orang yang sama yang setiap hari setia
mengirimkan email sejak hari pertama aku menjejakkan kaki di universitas ini,
satu setengah tahun lalu.
“Selamat pagi, Arini. Bagaimana kabarmu? Apakah summer sudah datang? Jakarta masih luar
biasa panas dan tentu masih macet seperti biasa. Mungkin memang seharusnya aku
pergi saja dari kota ini. Ada ide aku harus pergi kemana? Oh ya, kemarin aku
sempatkan mengunjungi rumahmu, bertemu Ibu. Aku memohon restunya. Aku akan
datang menyusulmu. Sudah terlalu lama aku menanti kabar darimu. Hampir satu
setengah tahun sejak kamu
pergi tanpa memberitahuku. Pesawatku akan tiba hari Minggu siang. Tidak peduli
kamu akan datang menjemputku atau tidak, aku akan menantimu di airport. Terlalu
banyak yang harus kita selesaikan. Bicara adalah cara orang dewasa
menyelesaikan masalah, bukan dengan lari seperti cara yang kau pilih”
Dia pasti sudah menunggu dua jam di airport saat ini. Aku tidak tahu apa
sebaiknya pergi atau tetep disini. Kuteguk cappucinno yang mulai dingin. Bahkan setelah cangkir kedua pun aku
belum mampu memutuskan harus bagaimana.
Lelaki Pertama
Bagi wanita manapun, Bapak adalah lelaki pertama yang dikenalnya. Dari
Bapak, seharusnya wanita belajar tentang kasih sayang yang dibalut kerasnya
tanggung jawab hidup dan kepatuhan pada norma. Tapi sayang aku tidak
mendapatkannya dari Bapak.Urusan bisnis terlalu menyita waktu Bapak bahkan saat
dia bersama kamipun rasanya pikirannya masih habis untuk seluruh lalu lintas
bisnis perdagangannya. Sebelumnya, aku bisa memahami sepenuhnya bahwa begitulah
konsekuensi atas tanggung jawab yang besar terhadap istri dan kedua putrinya. Sampai
kabar perselingkuhan
yang kemudian tercium oleh Ibuku. Dengan terbata-bata di antara isak tangis ibu memberi tahu aku dan
mbak Anti. Bapak menikah siri dengan sekretarisnya yang sudah hamil empat
bulan.
Sejak itu, aku membencinya.
Lelaki yang sebagian gennya ada pada darahku. "Bukan aku yang tidak mau
menjadi anak, tapi Bapak yang sudah memilih berhenti menjadi seorang Bapak
bagiku!" ucapku
dingin
pada Bapak saat terakhir bertemu
sebelum dia meninggalkan rumah pascaperceraian Bapak dan Ibu.
Lelaki Kedua
Aku bersyukur aktivitas organisasi mahasiswa mempertemukan aku dengan Faisal.
Kelaziman hubungan cinta ketua dan sekretaris akhirnya terjadi
juga pada kami. Witing
tresno jalaran soko kulino. Seringnya
bersama menghadiri rapat baik di fakultas maupun universitas menumbuhkan
benih-benih cinta di antara kami. Bukan hanya ketampanan paras perpaduan Padang-Arab yang menawan hatiku.
Aku kemudian
menemukan banyak sifat lelaki yang aku
harapkan darinya, sifat yang sangat berbeda dengan Bapak. Dia cerdas dan tegas,
namun sekaligus penyabar. Dan seperti orang Padang pada umumnya, dia religius
dan setia.Dia juga pandai merebut hati Ibu.
Tepat di hari ulang tahunku yang ke-25, Faisal melamarku. Dia tidak
berlutut bak pangeran, tidak pula menyiapkan pesta kejutan penuh bunga dan
lilin. Di teras rumah saat dia mengantarku pulang setelah acara dinner dengan beberapa teman, Faisal
mengeluarkan kotak beludru merah berisi cincin berlian bermata dua.“Aku
memberimu cincin ini karena aku adalah lelaki kedua bagimu, setelah Bapakmu.
Aku tidak bisa menjanjikan apapun padamu kecuali bahwa aku akan menjadi lelaki terbaik
untukmu dan anak kita kelak. Menikahlah denganku, Arini.”
Lelaki Ketiga
Setiap hari sejak perkawinan kami adalah surga bagiku. Aku dan Faisal ibarat puzzle yang saling melengkapi. Kami memiliki mimpi yang
tinggi, dan berusaha bersama untuk mewujudkannya. Kami sama-sama muda dan meniti karir yang menjanjikan. Aku menjadi economist di salah
satu bank BUMN, sementara Faisal menjadi manajer di salah satu leading consumer goods company. Kebahagian
kami lengkap ketika tujuh bulan setelah menikah,aku dinyatakan positif hamil.
Seiring usia kandungan yang terus bertambah, Faisal semakin disibukkan dengan
perjalanan dinasnya, berkeliling meninjau pabrik dan distribusi milik
perusahaan tempatnya bekerja yang tersebar di seluruh Indonesia. Tak jarang juga
dia harus mewakili perusahaan menghadiri meeting di luar negeri.
Faisal ragu-ragu menjelang perjalanan dinasnya ke Thailand yang
berdekatan dengan hari perkiraan kelahiran putra pertama kami.“Maafkan aku,
Rin. Ini mendadak sekali. Pak Pieter tiba-tiba sakit, jadi tidak ada orang lain
yang bisa menggantikannya ke Thailand. Aku cuma tiga hari di sana. Selesai
semua acara regional meeting aku akan secepatnya kembali.” Faisal memegang tanganku yang sibuk memasukkan baju
ke koper. Matanya merasa bersalah. Aku tersenyum. “Kamu sudah menjelaskan
ratusan kali sejak siang kemarin, I
totally can understand your reason. Come
on dear! Aku bukan ABG labil yang harus nangis-nangis ditinggal kekasihnya
pergi.”
Faisal tertawa mendengar jawabanku.“Terimakasih, sayang. Kamu memang
istri terbaik. Ingat pesanku ya. Kalau ada tanda-tanda melahirkan apapun, kamu
harus segara pergi ke rumah sakit”.
“Siap, bos.” kataku sambil memperagakan gaya menghormat ala tentara.
Faisal tersenyum meraihku ke dalam pelukannya.“Aduh hati hati dong, sayang.
Baby nya sakit nih ditimpa perutmu”. Aku merajuk manja.“Ups, maaf tidak
sengaja”.Faisal merenggangkan pelukannya. Sambil mengusap perutku, dia berbisik
“Jagoan papa, lahirnya nunggu Papa pulang ya. Kamu harus kuat. Temenin Mama ya
selama Papa nggak ada”. Faisal mencium keningku lembut sebelum pergi.Tidak lupa
dia pamit pada Ibu yang sudah sebulan ini ikut tinggal di rumah kami menjelang
persalinanku.
Pagi terakhir sebelum jadwal
kepulangan Faisal, tiba-tiba
perutku merasa mulas. Dibantu ibu dan Mas Mono, sopir Faisal, aku dibawa ke
rumahsakit. Hasil pemeriksaan masih menunjukkan pembukaan awal, sehingga aku
disarankan kembali dulu ke rumah. Menjelang malam, rasa mulas semakin meningkat
dengan intensitas yang lebih sering.Ternyata pembukaan belum bertambah juga. Namun,
suster yang memeriksaku tiba-tiba bergelagat aneh. Setelah berbisik dengan
rekan sejawatnya.Mereka berdua kemudian keluar ruangan.Tidak berapa lama mereka
kembali membawa tabung oksigen dan selang-selangnya.Dengan hati-hati suster
yang lebih senior berkata “Ibu Arini, entah mengapa kami tidak berhasil menemukan
detak jantung bayi ibu. Kami sudah mencoba beberapa kali. Dokter sedang menuju
ke rumah sakit dan akan tiba dalam 15 menit. Sementara itu, ibu akan diberi
oksigen agar peredaran darah ke bayi lebih baik. Ibu diharap tenang ya”
Aku tidak bisa mencerna dengan baik apa yang diucapkan suster tadi.
Dengan bingung aku memandang Ibu. Ibu menggenggam tanganku memberi kekuatan.Aku
mulai menangis dan panik.“Kenapa bisa begitu, suster? Anak saya baik-baik saja
kan?Aku mohon katakan kalau semuanya bohong! Mana dokter?Aku mau dokter
sekarang!” Ibu memelukku “Sabar, Rin. Jangan teriak. Lebih baik tenang dan
berdoa saja yang terbaik. Kamu terus komunikasi dengan anakmu saja. Ibu yakin
dia masih hidup”. Aku terisak di pelukan Ibu. Doa terus kupanjatkan di sela
rasa sakit yang intensitasnya meningkat. Masa menanti dokter datang serasa
seabad lamanya.
Lintasan peristiwa yang terjadi kemudian terasa sangat cepat. Dokter
datang, memeriksa ini dan itu. Memutuskan operasi caesar mendadak. Aku hanya mengingat lampu operasi yang silau
sebelum kemudian tertidur karena bius dan kelelahan menahan sakit selama hampir
20 jam.
Ketika membuka mata, bayang-bayang Ibu terlihat samar di depanku.
“Anakku sudah lahir, Bu?Mana dia? Apakah dia baik-baik saja?”.Ibu tidak
menjawab, hanya menatapku, airmatanya menggenang.“Yang sabar ya nak. Allah
lebih sayang anakmu”. Aku menangis histeris.Tidak percaya pada kenyataan pahit
pada bayiku. Tidak ada yang salah selama kehamilanku. Bahkan pagi kemarin
semuanya masih baik-baik saja.
Bayi laki-lakiku membiru dibalut selimut putih bersih. Aku tergugu
menerimanya dari Ibu. Memeluknya tubuhnya yang dingin. Airmata
memenuhi mataku. Dunia tiba-tiba gelap.
Ketika membuka mata, aku
menemukan diriku sudah berada di kamar rawat inap. Ada Ibu, Mbak Anti, dan Mas
Bagas suaminya. “Mana anakku?” tanyaku. Ibu memegang tanganku. “Anakmu sudah dimandikan, Sebaiknya siang ini
kita makamkan. Tidak baik menunda pemakaman sampai berganti hari.” Aku kembali
terguncang. “Aku ingin menunggu Faisal sebelum memakamkan anakku, Bisakan?” Ketiga orang di depanku
berpandangan. Mbak Anti mendesah. “Sepertinya kita tidak bisa menunggu Faisal.”
Aku memandang heran pada kakak wanitaku “Kenapa mbak?” Ibu memelukku dari sisi
kanan tempat tidur. Mengelus rambutku dengan kasih sayang sebelum bersuara.
Lirih. “Yang sabar ya nak, Tadi orang KBRI Bangkok menelpon. Dalam perjalanan ke airport di
Bangkok, Faisal terjebak di tengah demontrasi besar menentang perdana menteri.
Demo kemudian menjadi anarkis. Faisal menjadi korban salah tembak. Meskipun
pertolongan cepat datang, tapi nyawanya tidak tertolong. Faisal meninggal sesampainya di rumah sakit”
**
"Kamu kurusan, Rin."
Aku terkejut. Suara itu.
Suara yang membuatku lari dari Jakarta. Kini suaranya begitu nyata di tengah riuh suara manusia di Birmingham airport, airport terdekat dari kampusku. Ternyata justru dia menemukanku setelah aku
celingukan mencarinya.
"Kalau kamu memang
kesini untuk melihatku, mengapa kau masih berdiri di situ?" Aku bergeming,
ragu. Kudengar langkah kaki mendekat. Aku semakin lemas, bingung. Ingin lari
menjauh, tapi kakiku beku. Langkah kaki itu berhenti tepat di belakangku.
"Jangan lari lagi. Kumohon. Seberapapun kamu membenciku, atau tidak
menginginkanku. Sudah cukup pelarianmu. Aku rindu."
Kami duduk di bangku taman
menghadap danau alami berair tenang. Sepasang angsa berenang di tengah danau
menuju ujung selatan yang berbatasan dengan dormitory.
Mendung mulai hilang berganti langit berwarna biru pucat. Awan kelabu tipis masih menggantung di ujung langit
"Pantas kamu betah
melarikan diri kesini. Alam yang indah. Udara bersih. Kampus yang hijau."
cerocos lelaki di sampingku. Aku memandangnya dengan ekor mata. Rahang yang
kokoh dengan rambut-rambut halus yang tumbuh berantakan. Dia masih saja tampan.
Lelaki itu menoleh tepat saat aku menatapnya. Segera aku membuang muka. Malu
ketahuan mengagumi wajahnya. "Kamu kok diam dari tadi. Apa kamu tidak ingin berkata sesuatu.
Ratusan emailku tidak kamu balas. Dan sekarang aku datang berjuta kilo kesini. Masih diam juga yang
kudapat?"
Aku tersenyum mendengar
komplainnya. Dia masih sama seperti yang dulu. Jenaka, cair. "Aku terkejut
kamu benar-benar datang" akhirnya aku membuka suara.
"Dan?" kejarnya, berharap. "Dan apa?" tanyaku
bingung. "Apa
jawabanmu untuk lamaranku?sudah cukup aku memberimu waktu untuk kamu berpikir kan?". Aku terkejut mendengar pertanyaannya yang spontan. Aku semakin
menenggelamkan
mukaku.
Menghindari tatapannya yang lekat ke wajahku.
"Pandanglah aku, Rin!" Dia memutar bahuku. Membuat wajahku tepat menatap wajahnya. Matanya begitu kelam, penuh sakit dan rindu.
"Apa salah kalau aku, Rangga, sahabat suamimu almarhum, mencintaimu? Bukan
karena kasihan padamu seperti yang kamu sangkakan selama ini. Aku sudah
memendam cinta ini sejak kita kuliah dulu. Tapi aku mengalah pada Faisal.
Berbahagia untuk kalian. Sekarang saatnya kamu bahagia juga. Kamu berhak untuk
itu." Rangga menghela nafasnya. "Kalau bukan karena cinta dan harapan
atas balasan darimu, kamu pikir dengan apa aku bertahan selama ini. Kamu pergi,
tanpa pamit. Seluruh dunia bahkan ibumu juga bungkam." Rangga menggenggam
tanganku.
"Aku mencintaimu Arini
Dian Perwitasari dan di bawah langit kota ini aku memintamu melupakan semua
kepedihan masa lalumu, membuka lembaran baru bersamaku, Aku melamarmu menjadi istriku." Rangga mengeluarkan
kotak dari saku jaketnya. Membukanya.
Cincin berlian
bermata empat. "Tidak peduli bagaimana sedihmu karena tiga lelakimu sebelumnya, aku, lelaki keempatmu ingin
bahagia bersamamu selamanya"
Kebekuan hatiku mencair
bersama bulir airmata yang jatuh.
Tanpa
kata-kata, aku
mulai merangkai impian bersamanya
saat tangis bahagiaku pecah dalam
pelukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar