Selasa, 26 November 2013

Lelaki Keempat..

Pengumuman Lomba Cerpen Femina sudah keluar. Belum beruntung tahun ini. Tidak Mengapa..
Karena sudah pengumuman, jadi sah di-share disini..Selamat menikmati..If any comments, please be free to write at the comment box below..

 
Lelaki Keempat

Langit kota Coventry, kota kecil di west midland Inggris cloudy.Summer belum sepenuhnya datang. Awan kelabu entah mengapa masih merajai keseluruhan alam. Jalanan kampus University of Warwick, tempat aku melanjutkan kuliah master, lumayan sepi ditinggal sebagian besar mahasiswanya berkutat di perpustakaan mempersiapkan musim ujian yang segera datang. Sementara aku lebih memilih disini, duduk di sudut student café, di depan kaca besar yang membuat pandangan leluasa mengagumi art centre yang megah.
Sebuah email terbuka di layar smartphone putihku. Email itu tiba dua hari lalu. Dari orang yang sama yang setiap hari setia mengirimkan email sejak hari pertama aku menjejakkan kaki di universitas ini, satu setengah tahun lalu.
“Selamat pagi, Arini. Bagaimana kabarmu? Apakah summer sudah datang? Jakarta masih luar biasa panas dan tentu masih macet seperti biasa. Mungkin memang seharusnya aku pergi saja dari kota ini. Ada ide aku harus pergi kemana? Oh ya, kemarin aku sempatkan mengunjungi rumahmu, bertemu Ibu. Aku memohon restunya. Aku akan datang menyusulmu. Sudah terlalu lama aku menanti kabar darimu. Hampir satu setengah tahun sejak kamu pergi tanpa memberitahuku. Pesawatku akan tiba hari Minggu siang. Tidak peduli kamu akan datang menjemputku atau tidak, aku akan menantimu di airport. Terlalu banyak yang harus kita selesaikan. Bicara adalah cara orang dewasa menyelesaikan masalah, bukan dengan lari seperti cara yang kau pilih”
Dia pasti sudah menunggu dua jam di airport saat ini. Aku tidak tahu apa sebaiknya pergi atau tetep disini. Kuteguk cappucinno yang mulai dingin. Bahkan setelah cangkir kedua pun aku belum mampu memutuskan harus bagaimana.
Lelaki Pertama
Bagi wanita manapun, Bapak adalah lelaki pertama yang dikenalnya. Dari Bapak, seharusnya wanita belajar tentang kasih sayang yang dibalut kerasnya tanggung jawab hidup dan kepatuhan pada norma. Tapi sayang aku tidak mendapatkannya dari Bapak.Urusan bisnis terlalu menyita waktu Bapak bahkan saat dia bersama kamipun rasanya pikirannya masih habis untuk seluruh lalu lintas bisnis perdagangannya. Sebelumnya, aku bisa memahami sepenuhnya bahwa begitulah konsekuensi atas tanggung jawab yang besar terhadap istri dan kedua putrinya. Sampai kabar perselingkuhan yang kemudian tercium oleh Ibuku. Dengan terbata-bata di antara isak tangis ibu memberi tahu aku dan mbak Anti. Bapak menikah siri dengan sekretarisnya yang sudah hamil empat bulan.
Sejak itu, aku membencinya. Lelaki yang sebagian gennya ada pada darahku. "Bukan aku yang tidak mau menjadi anak, tapi Bapak yang sudah memilih berhenti menjadi seorang Bapak bagiku!" ucapku dingin pada Bapak saat terakhir bertemu sebelum dia meninggalkan rumah pascaperceraian Bapak dan Ibu.
Lelaki Kedua
Aku bersyukur aktivitas organisasi mahasiswa mempertemukan aku dengan Faisal. Kelaziman hubungan cinta ketua dan sekretaris akhirnya terjadi juga pada kami. Witing tresno jalaran soko kulino. Seringnya bersama menghadiri rapat baik di fakultas maupun universitas menumbuhkan benih-benih cinta di antara kami. Bukan hanya ketampanan paras perpaduan Padang-Arab yang menawan hatiku. Aku kemudian  menemukan banyak sifat lelaki yang aku harapkan darinya, sifat yang sangat berbeda dengan Bapak. Dia cerdas dan tegas, namun sekaligus penyabar. Dan seperti orang Padang pada umumnya, dia religius dan setia.Dia juga pandai merebut hati Ibu.
Tepat di hari ulang tahunku yang ke-25, Faisal melamarku. Dia tidak berlutut bak pangeran, tidak pula menyiapkan pesta kejutan penuh bunga dan lilin. Di teras rumah saat dia mengantarku pulang setelah acara dinner dengan beberapa teman, Faisal mengeluarkan kotak beludru merah berisi cincin berlian bermata dua.“Aku memberimu cincin ini karena aku adalah lelaki kedua bagimu, setelah Bapakmu. Aku tidak bisa menjanjikan apapun padamu kecuali bahwa aku akan menjadi lelaki terbaik untukmu dan anak kita kelak. Menikahlah denganku, Arini.”
Lelaki Ketiga
Setiap hari sejak perkawinan kami adalah surga bagiku. Aku dan Faisal ibarat puzzle yang saling melengkapi. Kami memiliki mimpi yang tinggi, dan berusaha bersama untuk mewujudkannya. Kami sama-sama muda dan meniti karir yang menjanjikan. Aku menjadi economist di salah satu bank BUMN, sementara Faisal menjadi manajer di salah satu leading consumer goods company. Kebahagian kami lengkap ketika tujuh bulan setelah menikah,aku dinyatakan positif hamil.
Seiring usia kandungan yang terus bertambah, Faisal semakin disibukkan dengan perjalanan dinasnya, berkeliling meninjau pabrik dan distribusi milik perusahaan tempatnya bekerja yang tersebar di seluruh Indonesia. Tak jarang juga  dia harus mewakili perusahaan menghadiri meeting di luar negeri.
Faisal ragu-ragu menjelang perjalanan dinasnya ke Thailand yang berdekatan dengan hari perkiraan kelahiran putra pertama kami.“Maafkan aku, Rin. Ini mendadak sekali. Pak Pieter tiba-tiba sakit, jadi tidak ada orang lain yang bisa menggantikannya ke Thailand. Aku cuma tiga hari di sana. Selesai semua acara regional meeting aku akan secepatnya kembali.” Faisal memegang tanganku yang sibuk memasukkan baju ke koper. Matanya merasa bersalah. Aku tersenyum. “Kamu sudah menjelaskan ratusan kali sejak siang kemarin, I totally can understand your reason. Come on dear! Aku bukan ABG labil yang harus nangis-nangis ditinggal kekasihnya pergi.
Faisal tertawa mendengar jawabanku.“Terimakasih, sayang. Kamu memang istri terbaik. Ingat pesanku ya. Kalau ada tanda-tanda melahirkan apapun, kamu harus segara pergi ke rumah sakit”.
“Siap, bos.” kataku sambil memperagakan gaya menghormat ala tentara. Faisal tersenyum meraihku ke dalam pelukannya.“Aduh hati hati dong, sayang. Baby nya sakit nih ditimpa perutmu”. Aku merajuk manja.“Ups, maaf tidak sengaja”.Faisal merenggangkan pelukannya. Sambil mengusap perutku, dia berbisik “Jagoan papa, lahirnya nunggu Papa pulang ya. Kamu harus kuat. Temenin Mama ya selama Papa nggak ada”. Faisal mencium keningku lembut sebelum pergi.Tidak lupa dia pamit pada Ibu yang sudah sebulan ini ikut tinggal di rumah kami menjelang persalinanku.
Pagi terakhir sebelum jadwal kepulangan Faisal, tiba-tiba perutku merasa mulas. Dibantu ibu dan Mas Mono, sopir Faisal, aku dibawa ke rumahsakit. Hasil pemeriksaan masih menunjukkan pembukaan awal, sehingga aku disarankan kembali dulu ke rumah. Menjelang malam, rasa mulas semakin meningkat dengan intensitas yang lebih sering.Ternyata pembukaan belum bertambah juga. Namun, suster yang memeriksaku tiba-tiba bergelagat aneh. Setelah berbisik dengan rekan sejawatnya.Mereka berdua kemudian keluar ruangan.Tidak berapa lama mereka kembali membawa tabung oksigen dan selang-selangnya.Dengan hati-hati suster yang lebih senior berkata “Ibu Arini, entah mengapa kami tidak berhasil menemukan detak jantung bayi ibu. Kami sudah mencoba beberapa kali. Dokter sedang menuju ke rumah sakit dan akan tiba dalam 15 menit. Sementara itu, ibu akan diberi oksigen agar peredaran darah ke bayi lebih baik. Ibu diharap tenang ya”
Aku tidak bisa mencerna dengan baik apa yang diucapkan suster tadi. Dengan bingung aku memandang Ibu. Ibu menggenggam tanganku memberi kekuatan.Aku mulai menangis dan panik.“Kenapa bisa begitu, suster? Anak saya baik-baik saja kan?Aku mohon katakan kalau semuanya bohong! Mana dokter?Aku mau dokter sekarang!” Ibu memelukku “Sabar, Rin. Jangan teriak. Lebih baik tenang dan berdoa saja yang terbaik. Kamu terus komunikasi dengan anakmu saja. Ibu yakin dia masih hidup”. Aku terisak di pelukan Ibu. Doa terus kupanjatkan di sela rasa sakit yang intensitasnya meningkat. Masa menanti dokter datang serasa seabad lamanya.
Lintasan peristiwa yang terjadi kemudian terasa sangat cepat. Dokter datang, memeriksa ini dan itu. Memutuskan operasi caesar mendadak. Aku  hanya mengingat lampu operasi yang silau sebelum kemudian tertidur karena bius dan kelelahan menahan sakit selama hampir 20 jam.
Ketika membuka mata, bayang-bayang Ibu terlihat samar di depanku. “Anakku sudah lahir, Bu?Mana dia? Apakah dia baik-baik saja?”.Ibu tidak menjawab, hanya menatapku, airmatanya menggenang.“Yang sabar ya nak. Allah lebih sayang anakmu”. Aku menangis histeris.Tidak percaya pada kenyataan pahit pada bayiku. Tidak ada yang salah selama kehamilanku. Bahkan pagi kemarin semuanya masih baik-baik saja.
Bayi laki-lakiku membiru dibalut selimut putih bersih. Aku tergugu menerimanya dari Ibu. Memeluknya tubuhnya yang dingin. Airmata memenuhi mataku. Dunia tiba-tiba gelap.
Ketika membuka mata, aku menemukan diriku sudah berada di kamar rawat inap. Ada Ibu, Mbak Anti, dan Mas Bagas suaminya. “Mana anakku?” tanyaku. Ibu memegang tanganku. “Anakmu sudah dimandikan, Sebaiknya siang ini kita makamkan. Tidak baik menunda pemakaman sampai berganti hari.” Aku kembali terguncang. “Aku ingin menunggu Faisal sebelum memakamkan anakku, Bisakan?” Ketiga orang di depanku berpandangan. Mbak Anti mendesah. “Sepertinya kita tidak bisa menunggu Faisal.” Aku memandang heran pada kakak wanitaku “Kenapa mbak?” Ibu memelukku dari sisi kanan tempat tidur. Mengelus rambutku dengan kasih sayang sebelum bersuara. Lirih. “Yang sabar ya nak, Tadi orang KBRI Bangkok menelpon. Dalam perjalanan ke airport di Bangkok, Faisal terjebak di tengah demontrasi besar menentang perdana menteri. Demo kemudian menjadi anarkis. Faisal menjadi korban salah tembak. Meskipun pertolongan cepat datang, tapi nyawanya tidak tertolong. Faisal meninggal sesampainya di rumah sakit
**
"Kamu kurusan, Rin."
Aku terkejut. Suara itu. Suara yang membuatku lari dari Jakarta. Kini suaranya begitu nyata di tengah riuh suara manusia di Birmingham airport, airport terdekat dari kampusku. Ternyata justru dia menemukanku setelah aku celingukan mencarinya.
"Kalau kamu memang kesini untuk melihatku, mengapa kau masih berdiri di situ?" Aku bergeming, ragu. Kudengar langkah kaki mendekat. Aku semakin lemas, bingung. Ingin lari menjauh, tapi kakiku beku. Langkah kaki itu berhenti tepat di belakangku. "Jangan lari lagi. Kumohon. Seberapapun kamu membenciku, atau tidak menginginkanku. Sudah cukup pelarianmu. Aku rindu."
Kami duduk di bangku taman menghadap danau alami berair tenang. Sepasang angsa berenang di tengah danau menuju ujung selatan yang berbatasan dengan dormitory. Mendung mulai hilang berganti langit berwarna biru pucat. Awan kelabu tipis masih menggantung di ujung langit
"Pantas kamu betah melarikan diri kesini. Alam yang indah. Udara bersih. Kampus yang hijau." cerocos lelaki di sampingku. Aku memandangnya dengan ekor mata. Rahang yang kokoh dengan rambut-rambut halus yang tumbuh berantakan. Dia masih saja tampan. Lelaki itu menoleh tepat saat aku menatapnya. Segera aku membuang muka. Malu ketahuan mengagumi wajahnya. "Kamu kok diam dari tadi. Apa kamu tidak ingin berkata sesuatu. Ratusan emailku tidak kamu balas. Dan sekarang aku datang  berjuta kilo kesini. Masih diam juga yang kudapat?"
Aku tersenyum mendengar komplainnya. Dia masih sama seperti yang dulu. Jenaka, cair. "Aku terkejut kamu benar-benar datang" akhirnya aku membuka suara.
"Dan?" kejarnya, berharap. "Dan apa?" tanyaku bingung. "Apa jawabanmu untuk lamaranku?sudah cukup aku memberimu waktu untuk kamu berpikir kan?". Aku terkejut mendengar pertanyaannya yang spontan. Aku semakin menenggelamkan mukaku. Menghindari tatapannya yang lekat ke wajahku.
"Pandanglah aku, Rin!" Dia memutar bahuku. Membuat wajahku tepat menatap wajahnya. Matanya begitu kelam, penuh sakit dan rindu. "Apa salah kalau aku, Rangga, sahabat suamimu almarhum, mencintaimu? Bukan karena kasihan padamu seperti yang kamu sangkakan selama ini. Aku sudah memendam cinta ini sejak kita kuliah dulu. Tapi aku mengalah pada Faisal. Berbahagia untuk kalian. Sekarang saatnya kamu bahagia juga. Kamu berhak untuk itu." Rangga menghela nafasnya. "Kalau bukan karena cinta dan harapan atas balasan darimu, kamu pikir dengan apa aku bertahan selama ini. Kamu pergi, tanpa pamit. Seluruh dunia bahkan ibumu juga bungkam." Rangga menggenggam tanganku.
"Aku mencintaimu Arini Dian Perwitasari dan di bawah langit kota ini aku memintamu melupakan semua kepedihan masa lalumu, membuka lembaran baru bersamaku, Aku melamarmu menjadi istriku." Rangga mengeluarkan kotak dari saku jaketnya. Membukanya. Cincin berlian bermata empat. "Tidak peduli bagaimana sedihmu karena tiga lelakimu sebelumnya, aku, lelaki keempatmu ingin bahagia bersamamu selamanya"
Kebekuan hatiku mencair bersama bulir airmata yang jatuh. Tanpa kata-kata, aku mulai merangkai impian bersamanya saat tangis bahagiaku pecah dalam pelukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar