Selasa, 26 November 2013

Kembar..

Berikut adalah tulisan yang  dikirim Mrs Karmi ke Femina, yang sampai detik ini belom beruntung dimuat..Hihihi..Tetap semangat menulis yang lainnya dong, minimal dimuat di blog sendiri..Selamat menikmati..


Kembar

Mr Karmi & Mr Kirmi..The Twin
  
Anak kembar memang unik. Dimanapun tempatnya, keberadaan mereka pasti langsung mencuri perhatian. Kalau yang kembar masih anak-anak, biasanya kompak pakai baju kembaran, imut dan menggemaskan. Kalau sudah besar pun masih terkadang masih jadi “tontonan” orang. Minimal akan ada yang bisik-bisik  berkomentar “Eh liat deh, mereka kembar lho!”

Lingkungan kehidupanku cukup dekat dengan anak  kembar.  Pertama, ibuku adalah anak kembar, laki-laki dan perempuan. Pada masa kelahiran mereka di awal tahun 50-an, kehadiran anak kembar masih sangat jarang dan langka. Apalagi kembarnya beda jenis kelamin. Tidak terlalu banyak cerita yang aku dapatkan dari ibu tentang saudara kembarnya.  Itu karena  menurut keyakinan  Mbah Kakung waktu itu anak kembar beda jenis kelamin harus dipisahkan ketika beranjak remaja, karena takut akan tumbuh benih asmara di antara keduanya. Kalau versi Mbah putri, faktor kerepotan mengurus anak kembar, plus anak-anak yang sudah lahir sebelumnya –total anak 12 orang-, memaksa Mbah putri merelakan anaknya ikut saudara jauh merantau ke Kalimantan. Kontak terakhir Ibu dengan  Pakdhe Warto, saudara kembarnya, terjadi pada tahun 1978. Surat yang Ibu kirim ke Kalimantan balik kembali dengan alasan penerima sudah pindah alamat. Sejak itulah, Pakdhe Warto seperti hilang ditelan bumi. Kabar burung menyebutkan Pakdhe Warto sudah menikah dengan gadis dayak, dan hidup berkeluarga di sana. 

Kedua, suamiku kembar. Sejak kuliah, dua laki-laki ini sudah menarik perhatian. Selain memang dianugrahi tambang dan badan yang gagah dan putih bersih, kedua anak ini cukup aktif di kegiatan kemahasiswaan. Nilai lebihnya  anak kembar adalah teman yang lebih banyak, karena prinsipnya “teman kembaran adalah temanku juga”.  Jadi, meskipun suamiku, dan kembarannya  mengambil kuliah di Fakultas yang berbeda, namun serasa mereka mempunyai teman di dua fakultas tersebut. Apalagi, sangat sering teman-teman mereka kecele mengenali keduanya karena sangat mirip. Tidak jarang meraka sibuk disapa sana sini oleh orang yang tidak dikenal, yang pasti karena salah mengenali keduanya haha.
Tapi bila ditanya, aku sebagai kekasihnya waktu dulu, pernahkah tertukar mengenali mereka? Jawabannya tentu tidak. Meskipun kembar, sebenarnya pembawaan dan kepribadian mereka sangat berbeda. Suami lebih tenang, kalem, dan tidak banyak omong sementara kembarannya lebih terbuka, populer, dan lebih ekspresif. Perbedaan kepribadian itu kemudian tercermin dari pilihan gaya berpakaian, aksesoris, maupun gaya rambut.

Aku dan suami menikah lebih dulu di tahun 2008. Sedangkan kembaran suami mengabari rencana pernikahannya di akhir tahun 2009. Kami belum mengenal calon istrinya sebelumnya, karena proses persiapan menuju pernikahan  yang terbilang singkat. Mereka adalah teman kerja di perusahaan pengolahan kertas di pedalaman Propinsi Riau sehingga agak sulit menyusun jadwal bertemu. Pada suatu siang, kembaran suami meminta tolong mengurus transaksi keuangan untuk calon istrinya. Kebetulan calon istrinya membuka rekening di bank tempatku bekerja. Kejutan datang begitu aku membuka data pribadi calon istrinya itu. Ternyata hari lahir calon istrinya sama persis dengan hari lahirku. Oalah, begini rupanya anak kembar. Bahkan urusan jodohpun sehati mencari istri yang “kembar” meskipun beda bapak dan beda ibu hehe.   Suami-suami dan istri-istri masing-masing lahir di tanggal dan tahun yang sama. How lucky!

Merasa memiliki darah kembar, aku dan suami pernah berharap bisa memiliki anak kembar juga. Sepertinya lucu. Namun, setelah kami memiliki Nasywa putri kecil kami, kami menjadi menyadari betapa repotnya mengurus walaupun hanya satu anak. Belum lagi urusan mencari pengasuh anak yang baik dan sesuai standar. Serasa mencari jarum di tumpukan jerami. Apalagi memikirkan biaya pendidikannya kelak, tiap masuk sekolah harus membayar semua biaya dikali dua. Tentu butuh persiapan ekstra.  Kami juga menjadi semakin realistis setelah kehamilan anak kedua dan ketigaku juga kurang lancar, sehingga harus gugur sebelum waktunya karena faktor penyakit yang aku derita.

Walhasil, kami sekarang menikmati hari-hari  mencurahkan seluruh perhatian untuk Nasywa yang kini sudah menginjak usia empat tahun. Meskipun harapan memiliki anak kembar sudah luntur seiring waktu dan pandangan hidup realistis, namun urusan kembar ini masih saja setia mengikuti kami. Sore itu, sepulang dari bepergian di akhir pekan, Nasywa asyik berceloteh mengomentari mobil-mobil di sebelah kanan kiri mobil MPV warna biru kami. Tiba-tiba dia menyeletuk dengan keras. “ Ma, liat mobil itu dan mobil kita, kembarrr”. Kami semua terkejut dan luar biasa bahagia, karena Nasywa berhasil mengucapkan kata kembar, dengan huruf “r” yang jelas, tanpa cadel.  Sejak saat itu, Nasywa lancar bisa mengucapkan huruf r dengan jelas, untuk kata apapun selain kata kembar.
Berkah kembar memang selalu mengikuti keluarga kami..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar