-anak akan mengalami sendiri winding roadnya- ilustrasi |
Prolog di atas dan judul tulisan ini berangkat dari kekhawatiran pribadi Mrs Karmi atas tumbuh kembang anak-anak generasi sekarang, salah satunya Nasywa. Nasywa lahir pada saat Indonesia sedang mendapat anugrah berupa peningkatan middle-income class -termasuk orang tuanya, apabila mengacu pada definisi World Bank tentang middle-income class-. Kelompok penghasilan menengah ini memiliki kecenderungan konsumsi yang lebih besar baik untuk makanan maupun non makanan, termasuk segala sesuatu terkait anak. Fakta itu ditambah dengan adanya "rasa bersalah" dari Mrs Karmi yang memilih untuk bekerja full time. Dengan dalih kita bekerja kan untuk anak jadi adalah wajar dan merupakan kewajiban apabila membelanjakan segala sesuatu untuk anak baik makanan, pakaian, mainan dan jalan-jalan. Tentu saja semua berkah dan rezeki dari Allah tersebut memang harus disyukuri, pun kita tidak ingin hidup dengan banyak kerikil-kerikil. Kita berharap hidup kita lanjar jaya, uang mencukupi, kesehatan selalu prima dan hidup sejahtera. Namun seperti analogi berkendara di atas, bagaimana jika semuanya mudah bagi anak kita?bagaimana dia menghadapi hidupnya ke depan?
Mr dan Mrs Karmi datang dari keluarga sederhana yang hidup jauh dari kota. Seperti kaum non-urban pada umumnya, pola hidup dan pola nilai yang kami kenang sampai sekarang terkait dengan kesederhaan, kesabaran dan perjuangan. Pada masa anak dan remaja, kami diajari bahwa tidak semua yang kita inginkan bisa kita capai. Bahwa kalau kita ingin barang A atau yang lainnya, kita mesti menunggu alokasi dari sisa belanja orang tua untuk hal lain yang lebih penting. Atau kalau mau punya barang B maka kita mesti menabung sisa uang saku terlebih dahulu. Sangat jarang kami bisa menikmati segala kemudahan memiliki sesuatu secara instan, kita diharuskan bersabar dan berjuang.
Terlihat menyedihkan pada masanya, namun ternyata karena tidak mudahnya mendapatkan segala sesuatu membuat semuanya indah saat mendapatkannya. Sampai sekarang, Mrs karmi masih ingat dengan jelas bagaimana bangganya bisa membeli sepeda sendiri dari tabungan hasil membantu Almh nenek di warungnya. Hampir setiap hari sepulang sekolah, Mrs Karmi membantu nenek berbelanja kebutuhan warung ke pasar mengayuh sepeda. Imbalan dari aktifitas itulah yang ditabung, sedikit demi sedikit, hingga cukup untuk membeli sepeda. Mr Karmi punya cerita paling membahagiakan juga, saat sepeda pertamanya, dibelikan Mama setelah mengumpulkan dana dari gajinya sebagai guru. Kenangan Mama mengayuh sepeda impiannya itu sampai rumah masih teringat jelas bahkan setelah lintasan waktu sekarang --saat Mr Karmi sudah bisa membeli sepeda sendiri hehe--. Kebahagiaan mendapatkan baju baru saat lebaran juga terasa sangat indah, karena pilihan memiliki baju baru pada kesempatan lain jarang terjadi.
Bagaimana dengan anak-anak kita? Tentu kondisinya sangat berbeda. Mereka tidak perlu memiliki kata-kata sabar atau berjuang dalam kamus hidupnya. Sebagai orang tua, kita akan membelikan segala sesuatu yang menurut kita perlu dan baik untuk mereka tanpa mereka minta bahkan tanpa mereka benar-benar pernah membutuhkannya. Mereka tidak perlu menunggu lebaran untuk memiliki baju baru, karena hampir setiap saat kita selalu membanjiri mereka dengan baju-baju baru. Tidak terhitung juga berapa kali sebulan mainan baru kita belikan, yang kadang dengan mudahnya dirusak karena penasaran atau keyakinan bahwa ayah bundanya akan membelikannya lagi. Mereka tidak perlu merengek untuk meminta ini itu, karena hanya jika anak kita melakukan salah satu kebaikan kita sudah mengobral janji akan mengganti kebaikan itu dengan hadiah yang dia mau.
Tentu tidak jadi masalah, apabila selamanya anak-anak bersama kita, atau selama nya kita memiliki kemampuan untuk memenuhi segala keinginan anak. Namun, adalah kepastian, bahwa kita tidak selamanya bersama anak-anak kita dan bahwa kita tidak dapat memastikan bahwa keadaan sama terus seperti sekarang. Roda kehidupan akan berputar, dan adalah kewajiban kita menyiapkan bekal untuk kemungkinan terburuk walaupun tentu tidak kita inginkan. Tentu saja agak naif jika anak-anak kita dipaksa merasakan kembali perjuangan dan kepahitan masa lalu secara sama, karena memang kondisinya sekarang berbeda. Memastikan bahwa nilai-nilai sabar, berjuang, ketangguhan mental dan akhirnya kebanggaan atas diri dari masa lalu memang perlu dilestasikan dan diwariskan kepada mereka.
Mr dan Mrs Karmi memang masih dalam tahap pencarian formula yang terbaik untuk melakukan internisasi nilai-nilai untuk si kecil. Masih jauh dari hasil. Namun begitulah menjadi orang tua, yang tidak ada pelajarannya di sekolah, dan hanya di dapat melalui praktek langsung menghadapai anak sendiri. Mengajarkan menabung salah satu cara yang bisa ditempuh, terutama apabila si kecil sedang menginginkan barang yang cukup mahal harganya. Mengajarkan bersabar, bisa dengan mengundurkan momen membelikan sesuatu yang berharga baginya meskipun sebenarnya kita mampu membelikannya. Setiap dia merengek meminta, ingatkan dia untuk bersabar sampai dengan tenggat waktu yang disepakati. Belajar antri dengan baik, belajar bergantian saat bermain juga salah satu cara lain. Saat ini memang hal-hal yang sederhana yang baru diterapkan, semoga ke depan semakin banyak alternatif lain yang bisa ditempuh.
Jika memang Allah menganugrahkan jalan anak kita semuanya mudah, maka sebagai orang tua kita harus menyiapkan mereka untuk rintangan yang ada di depan. Sabar saat semuanya tidak mudah -dan memang tidak ada free lunch di dunia nyata-dan Berjuang mengatasi rintangan itu untuk kemudian bangkit meraih kebanggaan atas kesuksesan yang mereka raih dengan perjuangan mereka sendiri. Semoga kita, para orangtua bisa..